Deru Napas dan Jerit Jiwaku

Deruku menyapa zaman, jeritku melempar sunyi malam

Saturday, May 12, 2007

TAPAK BERDERAP (33)

SANG Kembara kembali menuju telaga nan teduh itu. Sepanjang jalan, rinai hujan merintik lembut menyapa kerinduan hatinya akan telaga damai. Seiring dengan senandung puisi:

Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu
(*)

Tapak Kembara pun menginjak tepian telaga. Sang telaga pun seakan berbisik lembut:

Akulah si telaga: berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja
-- perahumu biar aku yang menjaganya
(**)

Kelopak padma putih nan suci itu pun merekah perlahan, menyambut kehadiran Sang Kembara.


(*) (Hujan Bulan Juni, Becoming Dew, Sapardi Djoko Damono, 1989)
(**) (Akulah Si Telaga, Perahu Kertas: Kumpulan Sajak, 1982, Sapardi Djoko Damono)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home