Deru Napas dan Jerit Jiwaku

Deruku menyapa zaman, jeritku melempar sunyi malam

Saturday, May 19, 2007

MURKA GELOMBANG

PAGI masih buta sekali tatkala samudra yang biasanya ramah itu mengganas. Lidah gelombangnya menyapu semua yang ada di bibir banyak pantai di pesisir selatan negeri ini. Tak peduli pondok milik si miskin maupun sang berdasi. Semua dihantam, semuanya diterjang. Sebuah lidah gelombang melebihi atap rumah, lidah lainnya bahkan nyaris mencapai tinggi pohon kelapa. Jerit tangis dan panik berbaur suara orang banyak berlari. Bukan tsunami memang, namun murka gelombang laut toh menghancurkan banyak pondok reot maupun gemerlap, baik perkampungan orang laut ataupun hunian rehat kaum pelancong berkantong tebal.

Tak banyak jiwa-jiwa yang melayang. Ini mungkin lantaran banyak penduduk negeri ini yang terpaksa bersahabat dengan bencana. Maklum, negeri ini berjuluk tak resmi: Negeri Bencana. Ironis, sungguh ironis. Padahal semenjak negeri ini dikenal dengan sebutan Nusantara, para kawula tersohor ramah kepada sesama makhluk hidup maupun bersahabat dengan alam. Tak berlebihan bila disebut nenek moyang negeri ini memahami bahasa alam, alam yang tak lain Bumi Pertiwi itu sendiri.

Dan sebuah lantunan milik seorang seniman bangsa ini pun lamat-lamat terdengar:

...Seringkali aku tak mampu menangkap / Isyaratmu lewat cuaca / Matahari, ombak di laut / Sering membisikkan yang bakal terjadi / Kadangkala aku memilih berdusta / Menghianati suara hati / Sesungguhnya kejujuran / Dapat menangkal semua malapetaka / Mari kita mencoba / Bersahabat dengan alam / Bumi, langit dan matahari / Bahasa mereka kita pelajari / Tentunya dengan kalimat jiwa yang rahasia / Tuhan menghendaki kita pelihara / Bumi beserta seluruh isinya / Untuk itu kita harus memahami / Bahasa matahari / Sesungguhnya aku tak mampu menjawab / Ketika anakku bertanya / Ke manakah angin berhembus? / Seberapa banyakkah tempat berteduh? / Mari kita mencoba / Bersahabat dengan alam / Bumi, langit dan matahari / Bahasa mereka kita pelajari / Tentunya dengan kalimat jiwa yang rahasia / Tuhan menghendaki kita pelihara / Bumi beserta seluruh isinya / Untuk itu kita harus belajar / Bahasanya semak belukar / Untuk itu kita harus memahami / Bahasa matahari.... *

* Bahasa Matahari (Ebiet G. Ade/2001)

(ANS/Celoteh Anak Bangsa)

Friday, May 18, 2007

TAPAK BERDERAP (34)*

LEMBAYUNG senja menggelayut indah di tepian telaga ini, ketika Sang Kembara meninggalkan kerisauan dan melabuhkan haluan sunyinya. Mungkin masih ada tersisa butiran asmara di telaga ini setelah lelah mengejar bayang-bayang.

Sang malam memang mencoba menenggelamkan kesunyian ini, namun tak kuasa. Terlebih kenangan hangat ramah jemarimu terasa kuat menjelma. Kerinduan mendalam, kerinduan tak tertahan lagi. Kerinduan `kan hadirmu...

* Terinspirasi dari Elegi Esok Pagi dan Aku Ingin Pulang (Ebiet G Ade).

Saturday, May 12, 2007

TAPAK BERDERAP (33)

SANG Kembara kembali menuju telaga nan teduh itu. Sepanjang jalan, rinai hujan merintik lembut menyapa kerinduan hatinya akan telaga damai. Seiring dengan senandung puisi:

Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu
(*)

Tapak Kembara pun menginjak tepian telaga. Sang telaga pun seakan berbisik lembut:

Akulah si telaga: berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja
-- perahumu biar aku yang menjaganya
(**)

Kelopak padma putih nan suci itu pun merekah perlahan, menyambut kehadiran Sang Kembara.


(*) (Hujan Bulan Juni, Becoming Dew, Sapardi Djoko Damono, 1989)
(**) (Akulah Si Telaga, Perahu Kertas: Kumpulan Sajak, 1982, Sapardi Djoko Damono)

Saturday, May 05, 2007

KETIKA...


KETIKA mata hatiku berlinang darah, bisakah kau membasuh dukaku?
Ketika hati tak boleh menjerit, akankah kau terus muntahkan congkakmu?
Ketika peluhku ini tak lagi mengucur, dapatkah kau rayu diriku?

Ketika aku membisu, tajam lidahmu tak akan mengiris sembilu nuraniku
Ketika lantangku bergema, hendak kau sembunyikan di mana wajahmu

Dan ketika kejujuran tak lagi bersemayam di hatimu,
Enyahlah kau!!!

Jangan usik lagi diriku
Kesabaranku ada batasnya, perlu kau tahu wahai sang pendusta
Dan langkah jantan sang pengembara sangat tak terduga olehmu