Deru Napas dan Jerit Jiwaku

Deruku menyapa zaman, jeritku melempar sunyi malam

Friday, December 22, 2017

TAPAK BERDERAP (41) Epilog/Ending

Senin, Desember 10, 2007

TAPAK BERDERAP (41)

SANG Kembara siuman saat lidah ombak menampar wajahnya. Kelopak matanya pun mengerjap, sekejap kemudian pandangannya langsung menyapu sekeliling. Hanyalah pasir putih terhampar luas yang ditingkahi suara ombak bergulung menuju bibir pantai. Ternyata badai semalam mengempaskan tubuh Kembara ke tepian pantai nan sunyi.

Dan sesaat lalu senja baru pamit di ufuk barat. Hampir gulita lantaran malam kembali tak berbintang. Pun demikian laut lepas di kejauhan, sisa-sisa badai tampak di ujung cakrawala kelam.

Tanpa berlama-lama Kembara bangkit melanjutkan perjalanan, menembus kelam malam.

Monday, December 18, 2017

TAPAK BERDERAP (40)

Minggu, September 23, 2007


TAPAK BERDERAP (40)

BUIH-buih ombak menampar buritan perahu, akhirnya berkejaran jatuh bersamaan kembali menjelma gelombang laut. Buih-buih yang seakan sejenak hendak membasahi kegelisahan Sang Kembara. Walau demikian, tak sejenak pun tajam nanar matanya melepaskan cakrawala. Suatu tatapan dingin melewati haluan perahu layar yang melaju memecah gulungan ombak.

Semenjak pasang petang, perahu Sang Kembara memang melaju menuju lautan lepas. Dan saat ini biru laut serupa dengan cerah langit. Pelayaran lancar, selancar kebulatan tekad. Ya, sekali layar dikembangkan, pantang membalikkan haluan. Dan hanyalah hasrat mengarungi samudra luas terbentang yang kian menghinggap.

Lautan memang memiliki bahasa tersendiri. Dari ombak berkejaran menuju tepian pantai, sepoi angin hingga gemuruh badai mengganas namun menantang. Semua itu memang bakal dihadapi tanpa urutan pasti.

Friday, August 10, 2007

TAPAK BERDERAP (39)

NYANYIAN desir angin telaga, kini berganti nyanyian debur ombak. Bulat merah mentari pun sesaat lagi menggelincir di ufuk barat. Namun, cakrawala senja keemasan masih membentang luas, mengalahkan pekat langit. Dan sebentar lagi jutaan kerlap-kerlip menghiasi langit, menawarkan sejuta kesunyian nan menggoda.

Di senja ini ombak silih berganti datang dan pergi. Dan hanyalah alunan debur ombak membentur bibir pantai saat Sang Kembara sampai di tepi laut ini. Sesaat kemudian dingin angin laut mengibarkan rambut panjangnya. Teringatlah Kembara akan si pemilik rambut terurai nun jauh di ufuk timur.

Ah, andai tangan ini dapat mengelus panjang gemulai rambutnya, tapi mengarungi badai di lautan lepas adalah pilihannya saat ini. Entah, bila nanti pemilik rambut terurai nan gemulai itu mau pula menerjang ganasnya ombak.

Monday, July 16, 2007

TAPAK BERDERAP (38)

BERINGSUT dari puncak kegelisahan, akhirnya kian terjagalah Sang Kembara bahwasanya telaga teduh ini telah membius. Nyanyian alam memang sunyi belaka, namun kehidupan itu sendiri haruslah bergulir sebagaimana mestinya. Keluar dari jerat sunyi yang acap kali menampakkan kelam malam tak berbintang.

Kini, Kembara merindukan samudra. Mengarungi lautan lepas dengan terpaan badainya. Seperti gejolak jiwa saat ini menuju pengembaraan sejati menantang. Wahai sang bahari, kelana laut menjelang.

Saturday, June 30, 2007


TAPAK BERDERAP (37) *


KEMARAU menghampiri telaga itu. Sang Kembara pun berhenti sejenak setelah sekian lama melangkah melintasi hari-hari, gelap maupun terang, dalam pemahaman makna semu dan nyata. Kering pada musim ini memang tak terkira. Dan hanyalah keteduhan tepian telaga yang bisa sedikit membasuh keletihan jiwa Kembara, kendati keletihan itu sendiri sulit diingkari. Letih ini memang tetap ada, walau tak terasakan lantaran adanya pemahaman arti kehidupan.

Letih di musim ini juga tak menggoyahkan langkah Sang Kembara. Lintasan panjang masih terbentang, menanti ditelusuri dan dikaribkan. Dan adakah penantian yang tersisa padamu?

* setelah mendengar lantunan Kembara Lintas Panjang (Ebiet G. Ade)

Tuesday, June 12, 2007

TAPAK BERDERAP (36)

SEMBURAT kilau rembulan memantul malu-malu di tengah telaga. Pantulan seberkas cahaya yang tak menyilaukan Sang Kembara. Walau pantulan kilau itu berbeda dengan cermin bayang yang berujung sesat belaka. Dan cermin telaga bening ini jelas tak sebanding cermin buram bayang, buram masa lampau lantaran cermin telaga Kembara adalah kerinduan teramat dalam. Kerinduan yang mungkin sulit dimengerti siapa pun.

Dan jejak langkah Sang Kembara memang teramat panjang. Janganlah kiranya menebak dan menghentikan langkahnya. Dengarkan saja tapak yang berderap, berderap ke satu tujuan hakiki nan mulia. Dengan berkarib kesunyian alam, keheningan malam, dan kebeningan telaga kerinduan.

Monday, June 11, 2007

TAPAK BERDERAP (35)*

SENANDUNG malam mengusir keheningan telaga ini. Walau kesunyian dan keheningan hampir tiada beda bagi Sang Kembara. Keduanya sama-sama menanti serta memburu bayang-bayang kerinduan. Tiada beda pula, bila kegetiran ini memang tak bersambut. Ya, kerinduan ini bagaikan telaga yang senantiasa menyambut Kembara dengan ketenangan, tanpa badai seperti di laut lepas.

Dan senandung malam kali ini berbisik halus. Seakan mengantarkan suatu alunan lagu yang tak asing bagi Kembara.

* Terinspirasi dari Apakah Ada Bedanya, Ebiet G. Ade